Zaman sekarang banyak yang menyarankan buku Filosofi Teras sebagai panduan hidup. Bahkan, ketika ada orang yang overthinking atau galau diluar faktor eksternal dan internal pun tetap disarankan membaca buku ini. Padahal, tidak semua orang membutuhkan buku ini karena mereka memang belum butuh. Selain itu, memang karena mereka lebih membutuhkan ke psikolog dan psikiater jika masalah itu tidak bisa diatasi oleh dirinya. Ketika bercerita, sedikit-sedikit mereka mengatakan “Baca buku Filosofi Teras tuh, cocok buat kamu biar nggak emosian, galau, overthinking” ucap seseorang yang mentalnya baik-baik saja. Namun, kenyataannya tidak semua orang bisa menerapkan stoisme.
Sebelum lebih jauh, akan dijelaskan sedikit apa itu filosofi teras. Filosofi teras atau stoa ialah sebuah nama aliran atau mazhab filsafat Yunani Kuno yang menjelaskan tujuan hidup yang selaras dengan alam. Selain itu, filosofi teras (stoa) juga memiliki beberapa tujuan yaitu:
Terbebas dari emosi negatif
Hidup mengasah kebajikan
Hidup selaras dengan alam
Hidup selaras dengan alam yang dimaksud ialah yang menggunakan nalar dan rasionya dengan baik. Sehingga mereka bisa menggunakan logikanya dengan baik ketika emosi. Juga, dengan menggunakan filosofi stoa diharapkan kita menjadi lebih santai ketika menghadapi sesuatu yang membuat kita kesal. Ini benar, karena kita juga harus mengendalikan emosi kita supaya kita dapat menyalurkan emosi secara baik.
Namun, apakah filosofi teras bisa diterapkan dalam sehari-hari? Jawabannya bisa dan tidak. Hal apa yang bisa diterapkan dalam filosofi teras? Beberapa hal yang bisa diterapkan ialah:
Mengendalikan Apa yang Bisa dikendalikan Oleh Kita
Hal apa yang bisa dikendalikan oleh kita? Yaitu, pertimbangan, opini, keinginan kita, tujuan, dan segala sesuatu yang merupakan tindakan dari diri sendiri. Bagaimana? Mengeluarkan pendapat kita yang tidak menyakiti orang lain. Sejujurnya ini agak susah tapi bisa diterapkan pelan-pelan. Emosi pun juga merupakan bagian dari hal yang bisa kita kendalikan. Apabila kita tidak bisa mengendalikan emosi diri sendiri maka akan terjadi banyak hal diluar dugaan kita. Entah itu pertengkaran atau apapun.
Mengapa kita harus mengendalikan hal diluar kendali kita? Karena ketika mengendalikan hal yang diluar kendali kita yang ada bakal kecewa. Juga, ketika mengharapkan itu yang ada kita mengalami penyesalan bahkan kemungkinan bisa lelah karena menuruti semua hal yang diinginkan oleh orang lain. Selain itu, ada beberapa hal yang memang tidak bisa dikendalikan diluar kendali kita seperti:
Kesehatan, reputasi, kekayaan, kondisi saat lahir, cuaca, dan bencana.
Dari stoisme kita diajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya datang dari dalam hal yang bisa kita kendalikan. Menggantungkan hal yang diluar kendali kita itu termasuk tidak rasional karena sama saja kita tidak menikmati hal itu. Selain dari bagaimana memperolehnya, kendali disini juga dijelaskan bahwa kendali juga ‘mempertahankan’. Namun, apakah kita bisa mempertahankan sepenuhnya? Tentu saja tidak, karena hal itu bersifat sementara dan sewaktu-waktu bisa hilang. Daripada memikirkan hal yang tidak bisa dikendalikan, lebih baik kita realokasi waktu dan tenaga kita yang dapat diatur dan dikendalikan oleh kita. Yaitu dengan melakukan hal yang lebih bermanfaat.
Tidak Menggantungkan Segala Hal kepada Siapapun.
Tidak menggantungkan segala hal yang melekat dalam diri kita itu sangat membantu karena kita jadi lebih memikirkan apa yang harus kita lakukan. Selain itu, jika kita mengejar segala hal maka kita akan selalu merasa tidak puas dan akan mengejar hal lain secara terus menerus. Padahal, hal ini tidak begitu penting. Selain itu, mengejar segala hal dapat memecah fokus kita, sehingga kita tidak dapat menyelesaikan apa yang ingin kita capai.
Kemudian, yang sangat berkaitan ialah bagaimana kita menerima opini dari orang lain. Di era ini, sebagian besar lupa akan menfilter mana opini yang buruk mana yang baik. Bahkan, sebagian besar masih mengikuti tren yang sebenarnya tidak begitu bermanfaat bagi diri sendiri. Seperti, tren memakai kesehatan produk power balance yang sempat heboh satu dekade lalu. Banyak orang yang mengikuti tren ini karena ada yang mengatakan bahwa gelang ini menjaga kesehatan padahal itu hanya sebatas gelang saja.
Ada juga, yang mengikuti opini orang lain tentang dirinya. Yang dimana kita harus merubah diri kita. Memang perlu menerima opini orang lain tetapi kita perlu menfilter apakah opini itu baik atau buruk. Jika tidak ada solusi, maka lebih baik tidak menggunakan opini orang tersebut. Tidak ada salahnya menerima opini dari orang lain, selama opini itu bisa membangun diri kita tentunya.
Mengurangi Overthinking dan Dapat Mgendalikan Emosi.
Buku ini menjelaskan bahwa overthinking berasal dari interpretasi atau persepsi yang dapat menyebabkan sebuah kekhawatiran atau keresahan. Karena ini bisa membuat orang jadi insecure dan secara tidak langsung menyalahkan orang lain karena dia insecure. Lihat!
Keresahan dan kekhawatiran kita bisa membuat bencana karena asal berasumsi. Orang-orang insecure karena mereka mereka khawatir dan hal ini sebenarnya bisa diselidiki dan diketahui penyebabnya. Setelah mengetahui penyebabnya, kita pun bisa menganalisanya dan mengendalikan supaya itu tidak menjadi bencana.
Mengendalikan emosi juga perlu karena kemarahan adalah sebuah kegilaan sementara. Pernah berpikir kan ketika kita marah, pikiran kita tidak menjadi jernih. Kemudian, setelah marah kita baru menyesali kalau seharusnya kita tidak marah karena marah ialah sebuah kegilaan sementara. Maka, ketika marah sebaiknya kita menghindari untuk melakukan interaksi supaya tidak membahayakan diri sendiri. Apalagi, marah karena berdebat di sosial media hal ini benar-benar menguras waktu kita. Sehingga, ketika kita marah lebih baik berhenti sesaat untuk memikirkan apa yang dilakukan. Saya telah menerapkan ini dan cukup efektif supaya tidak marah-marah di media sosial. Lebih baik kita mengalah kepada orang gila karena akan sia-sia menghadapi orang seperti itu. Mengapa harus tenang? Karena ketika kita tenang kita bisa menghadapinya dan kelembutan bisa mengalahkan orang-orang yang marah kepada kita, apalagi ketika berdebat di sosmed.
Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa kita terapkan dalam buku ini. Misalnya;
- Penulis Mengatakan:
Baper Merupakan Sumber Masalah.
Menurut saya, baper itu wajar karena manusia memang memiliki emosi. Namun, yang menjadi tidak wajar jika kita mengendalikannya dengan salah. Seperti, emosi secara tiba-tiba dan langsung marah-marah karena secara tidak langsung kemarahan itu merusak suasana. Bagaimana contohnya? Ketika kita sebal dengan orang lain karena asumsi padahal belum tentu benar. Wajar kita marah karena asumsi orang lain itu, tetapi lebih baik kita menghilang sementara untuk memahami asumsi orang lain. Tidak perlu sampai membagikannya di media sosial kecuali kalau sudah dalam tahap yang menyebalkan.
Kemudian, setelah tahu apa yang kita lakukan maka kemarahan itu akan hilang sendirinya jika kita memikirkannya dengan logika. Jadi, menurutku baper itu bukan sumber masalah karena termasuk dalam bagian emosi tetapi tinggal bagaimana menerima emosi tersebut dan mengendalikan karena pada tulisan lainnya, penulis mengatakan bahwa emosi negatif itu bukan lagi sesuatu yang harus diperangi tetapi bisa diselidiki dari sumbernya. Nah, menurut saya baper itu merupakan salah satu bentuk emosi negatif, makanya kenapa kita harus menyelidiki dan mengendalikannya supaya kemarahan kita tidak merusaknya.
Stoisme Mengajarkan Kita untuk Selalu Menjaga Kehidupan Sosial Kita.
Dalam halaman 156 dikatakan bahwa kita sebisa mungkin untuk tidak memutuskan hubungan dengan sesama kita yang dimana bisa memotong keseluruhan. Namun, disisi lain juga mengatakan bahwa kalau ada teman yang sering ngambek menyimpan marah, adanya kebencian dengan temannya. Nahloh, bagaimana? Agak berbeda bukan? Karena pada dasarnya kalau sudah toxic lebih baik dihindari dan tidak perlu menjaga silahturahmi.
Berurusan dengan orang seperti ini sangat melelahkan bahkan secara tidak langsung menyebarkan virus yang menular. Pada awalnya kita tidak membenci orang itu kita jadi membencinya karena mendengar cerita asumsi dari orang tersebut. Maka dari itu keputusan yang terbaik ialah menghindari orang tersebut bahkan kalau bisa tidak melakukan komunikasi sama sekali. Jikalau kita memaksa untuk tetap berkomunikasi yang ada kita ketularan menjadi toxic.
Menghadapi Seorang Pembully Terutama di Dunia Maya.
Ada yang mengatakan sebaiknya tidak meladeni pelaku bullying dan orang yang mengucapkan ucapan kasar kepada kita karena itu benar-benar menguras energi kita. Namun, di halaman 171 mengatakan bahwa kita sebaiknya melakukan percakapan dengan orang yang membully kita. Juga, disana jika kita langsung memblokir maka tidak akan menjadi dialog dan akan menjadi denial. Menurut saya, sebenarnya tidak masalah tetapi dalam opininya juga ia mengatakan bahwa orang yang membully kita itu menganggap kita sebagai objek dan sia-sia saja berdialog dengan mereka. Mengapa sia-sia? Karena mau sebenar apapun dan ada bukti ilmiah mereka akan tetap menganggapnya salah. Jadi, mengapa kita harus menghadapi mereka kalau ada opsi untuk mengabaikan? Kan itu ada dikendali diri kita sendiri.
— -
Jadi, apakah buku filosofi teras ini bisa diterapkan sehari-hari? Tentu saja bisa, asalkan yang menurutmu tidak baik tidak usah diterapkan. Memang buku ini bagus, tapi tidak bisa semua orang bisa menerapkannya. Secara absah, kalau ada yang langsung mengatakan ‘Coba baca buku filosofi teras deh, ini bagus lho biar kamu bisa menerapkannya dan ndak jadi emosian,’ maka saya sarankan untuk tidak langsung mengiyakan karena, tidak semua orang cocok.
Sedangkan di saya, buku ini cukup bermanfaat walaupun isinya ada yang tidak sesuai dengan prinsip saya. Sebelum membaca buku ini, pastikan membaca buku tentang stoisme atau buku tentang overthinking. Seperti buku yang berjudul ‘The Book of Overthinking’ yang dimana penerapannya hampir sama dengan filosofi teras ini tapi lebih detail lagi penjelasannya. Mengapa harus membaca buku ini? Karena buku ini juga menjelaskan mengapa overthinking itu bisa terjadi dan ditulis langsung oleh ahlinya. Namun, untuk buku Filosofi Teras ini ditulis berdasarkan pribadi sang penulis. Sehingga tidak bisa diterapkan secara penuh karena itu berdasarkan pengalaman penulis sendiri.